PRINSIP PRESUMPTION OF GUILTY DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU) OLEH DAVID SIMAMORA MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau yang dikenal dengan istilah Money Laundering telah lama dikenal sejak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan pencucian pakaian-pakaian. Perusahaan ini dibeli oleh para mafia AS atas hasil dana yang diperolehnya dari berbagai usaha gelap (illegal) yang untuk selanjutnya dipergunakan sebagai pencucian uang dari hasil-hasil transaksi illegal berupa pelacuran, minuman keras atau perjudian. Menurut Jeffrey Robinson uraian tersebut diatas hanyalah isapan jempol belaka. Dikemukakan olehnya: “It is a neat story – but not true”. Mengapa cerita itu tidak benar? Karena masih menurut Jeffrey Robinson dalam tulisannya yang sama: “Money laundering is called what it is because that perfectly describes what takes place-illegal, or duty, money is put through a cycle of a transactions or washed, so that it come out the other end as legal, or clean money. In other words, the sources of illegally obtained funds is obscured through a sucession of transfers and deals in order that those same funds can eventually be made to reappear as legitimate in come.” Kemudian istilah ini menjadi popular pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pencucian uang mafia AS yang terkenal dengan Pizza Connection. Kasus demikian menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransaksikan ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang dilakukan dengan menggunakan restoran-restoran pizza yang berada di AS sebagai sarana usaha untuk menyamarkan sumber-sumber dana itu. Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi financial yang rumit guna mempersulit berbagai pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkauannya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar Money Laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang. Pada saat ini, pencucian uang atau money laundering sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan internasional. Apa yang dimaksudkan dengan pencucian uang atau money laundering? Tidak ada definisi yang universal dan komprehensif. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan. Sedangkan pengertian money laundering atau pencucian uang menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organization crime, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai usaha yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku tersebut dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya ke dalam bisnis yang sah. Salah satu prinsip yang baru diatur dalam UU TPPU baik yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2002, UU No. 25 Tahun 2003 dan No.8 Tahun 2018 adalah prinsip presumption of guilty. Primsip ini merupakan sebuah terobosan besar yang revolusioner dan progresif, metode baru terhadap pembaharuan hukum dalam pemberantasan TPPU sekaligus menjawab permasalahan dalam mengatasi kejahatan asal. Prinsip ini diberi asumsi bahwa setiap orang yang didakwa melakukan TPPU, dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan TPPU. Asas presumption of guilty atau praduga bersalah menentukan jika terdakwa tidak dapat menentukan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat dipersalahkan melakukan TPPU . Dalam proses siding pengadilan terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak terdakwa bersalah. Sekaligus terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan TPPU sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum. 1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 77 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 1. (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). 2. (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Melalui sistem pembuktian terbalik ( omkering van het bewijlast/ reversal burden of proof) yang bertitik tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa melakukan TPPU, dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan TPPU ( presumption of guilty) . Terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melakukan TPPU. Sistem pembuktian terbalik pada dasarnya diterapkan secara terbatas dan khusus terhadap perbuatan-perbuatan, yaitu gratifikasi, penyuapan, perampasan harta benda terdakwa, tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian uang. Undang-Undang TPPU menganut asas presumption of guilty merupakan Undang-Undang Khusus.

PRINSIP PRESUMPTION OF GUILTY DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)
OLEH
DAVID SIMAMORA
MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

          Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau yang dikenal dengan istilah Money Laundering telah lama dikenal sejak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan pencucian pakaian-pakaian. Perusahaan ini dibeli oleh para mafia AS atas hasil dana yang diperolehnya dari berbagai usaha gelap (illegal) yang untuk selanjutnya dipergunakan sebagai pencucian uang dari hasil-hasil transaksi illegal berupa pelacuran, minuman keras atau perjudian.

Menurut Jeffrey Robinson uraian tersebut diatas hanyalah isapan jempol belaka. Dikemukakan olehnya: “It is a neat story – but not true”.  Mengapa cerita itu tidak benar? Karena masih menurut Jeffrey Robinson dalam tulisannya yang sama: “Money laundering is called what it is because that perfectly describes what takes place-illegal, or duty, money is put through a cycle of a transactions or washed, so that it come out the other end as legal, or clean money. In other words, the sources of illegally obtained funds is obscured through a sucession of transfers and deals in order that those same funds can eventually be made to reappear as legitimate in come.”

Kemudian istilah ini menjadi popular pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pencucian uang mafia AS yang terkenal dengan Pizza Connection. Kasus demikian menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransaksikan ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang dilakukan dengan menggunakan restoran-restoran pizza yang berada di AS sebagai sarana usaha untuk menyamarkan sumber-sumber dana itu.

Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi financial yang rumit guna mempersulit berbagai pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkauannya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar Money Laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang.

Pada saat ini, pencucian uang atau money laundering sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan internasional. Apa yang dimaksudkan dengan pencucian uang atau money laundering? Tidak ada definisi yang universal dan komprehensif. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan.

Sedangkan pengertian money laundering atau pencucian uang menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organization crime, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai usaha yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal.

Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku tersebut dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya ke dalam bisnis yang sah.

Salah satu prinsip yang baru diatur dalam UU TPPU baik yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2002, UU No. 25 Tahun 2003 dan No.8 Tahun 2018 adalah prinsip presumption of guilty. Primsip ini merupakan sebuah terobosan besar yang revolusioner dan progresif, metode baru terhadap pembaharuan hukum dalam pemberantasan TPPU sekaligus menjawab permasalahan dalam mengatasi kejahatan asal. Prinsip ini diberi asumsi bahwa setiap orang yang didakwa  melakukan TPPU, dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan TPPU. Asas presumption of guilty atau praduga bersalah menentukan jika terdakwa tidak dapat menentukan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat dipersalahkan melakukan TPPU . Dalam proses siding pengadilan terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak terdakwa bersalah. Sekaligus terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah melakukan TPPU sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum.

  1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 77

Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 78

  1. (1)  Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
  2. (2)  Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Melalui sistem pembuktian terbalik ( omkering van het bewijlast/ reversal burden of proof) yang bertitik tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa melakukan TPPU, dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan TPPU ( presumption of guilty) . Terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melakukan TPPU. Sistem pembuktian terbalik pada dasarnya diterapkan secara terbatas dan khusus terhadap perbuatan-perbuatan, yaitu gratifikasi, penyuapan, perampasan harta benda terdakwa, tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian uang. Undang-Undang TPPU menganut asas presumption of guilty merupakan Undang-Undang Khusus.

 

_________________________
Klik Untuk Mendownload Artikel
DAVID SIMAMORA ARTIKEL MONEY LAUNDRY
_________________________

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *