Warta Nusantara – Jakarta, 3 November 2025 | Fredi Marbun, Tokoh Pergerakan, Pemerhati HKBP, dan Aktivis Toleransi serta Penentang Radikalisme
Di tengah dinamika yang melanda Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), muncul keprihatinan mendalam terhadap arah dan sikap gereja di bawah kepemimpinan Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Viktor Tinambunan.
Di balik retorika moral dan semangat rohani, kini tampak tanda-tanda bahwa nalar jemaat perlahan dibungkam dan kebebasan berpikir para pendeta ditekan melalui narasi tunggal yang dikendalikan secara sentralistik.
Isu yang berkembang di tubuh HKBP dan masyarakat Batak saat ini bukan lagi sebatas perbedaan pandangan teologis, melainkan telah berubah menjadi stigma dan propaganda kebencian yang menyesatkan.
Banyak jemaat menjadi korban informasi sepihak yang dikonstruksi seolah-olah sebagai kebenaran iman, padahal sarat kepentingan pribadi, kelompok, bahkan politik.
“Yang terjadi saat ini bukan lagi pertarungan gagasan, tetapi pembungkaman akal sehat jemaat. Nalar dikurung, kebebasan berpikir dibungkam, dan kebenaran diseret ke ruang kepentingan,”
tegas Fredi Marbun, tokoh pergerakan dan pemerhati HKBP yang selama ini konsisten menyerukan toleransi dan melawan radikalisme.
Ketika Isu Menjadi Alat Kekuasaan
Menurut Fredi, kepemimpinan Ephorus Viktor Tinambunan terlalu sering menggunakan isu moral dan lingkungan sebagai alat pembentuk opini jemaat.
Salah satu contohnya terlihat dari sikap keras dan agresif Viktor Tinambunan yang kini justru menimbulkan keresahan dan konflik sosial di tengah masyarakat.
“Kebijakan dan seruan isu yang dibangun Ephorus Viktor Tinambunan seakan menempatkan jemaat dalam posisi lawan terhadap pihak tertentu. Ini berbahaya, karena gereja seharusnya menjadi rumah perdamaian dan kasih bukan ruang agitasi,” ujar Fredi.
Ia menilai, semangat pelayanan, kasih, dan pembinaan rohani yang seharusnya menjadi identitas HKBP kini bergeser menjadi ajang mobilisasi isu yang menguntungkan kelompok tertentu.
Sementara itu, masyarakat kecil justru menjadi korban sosial dan ekonomi dari narasi besar yang dipaksakan dari mimbar.
Ribuan Jemaat HKBP Terdampak Isu Tutup PT. TPL
Fredi menegaskan bahwa ribuan jemaat HKBP yang menggantungkan hidup dari PT. Toba Pulp Lestari (TPL) kini menjadi korban stigma sosial akibat isu yang digulirkan oleh Ephorus.
“Ephorus sebagai pimpinan pusat gereja seharusnya mengutamakan nilai kasih dan damai dalam menyelesaikan konflik PT. TPL dengan masyarakat. Ia harus melihat juga bagaimana nasib dan masa depan ribuan pekerja yang mencari nafkah di sana. Akibat isu yang dibangun Viktor, keluarga para pekerja kini menanggung beban stigma dan tekanan sosial. Apakah seperti itu cara seorang pimpinan gereja menyelesaikan masalah?”
ujar Fredi dengan nada kecewa.
Menurutnya, isu yang diciptakan seakan-akan menempatkan masyarakat pekerja PT. TPL sebagai musuh masyarakat adat tanpa memberi kesempatan bagi mereka untuk menjelaskan posisi mereka sebagai pencari nafkah yang bekerja demi kehidupan dan pendidikan anak-anaknya.
“Secara pribadi saya melihat, andaikan PT. TPL ditutup, lalu bagaimana nasib hidup dan masa depan mereka yang menggantungkan penghidupan di sana? Mereka bukan pelaku dosa sosial, melainkan korban framing dari kelompok berkepentingan politik,” tegas Fredi.
HKBP Harus Kembali ke Jalan Kasih dan Damai
Lebih lanjut, Fredi menyerukan agar Ephorus Viktor Tinambunan dan seluruh pimpinan HKBP saat ini segera mundur, agar kepemimpinan gereja dapat ditata kembali sesuai panggilannya menjadi terang dan garam dunia bukan corong kepentingan sesaat.
“Gereja harus kembali menjadi ruang dialog, kasih, dan pembinaan rohani, bukan arena kampanye yang membelah jemaat. Jika gereja terus dijadikan alat politik, HKBP akan kehilangan martabat dan rohnya sebagai lembaga pelayanan. Gereja bukan menara propaganda, melainkan rumah kasih,” tegasnya.
Ia menambahkan, sejarah panjang HKBP seharusnya menjadi sumber nilai moral dan kekuatan sosial. Namun ketika otoritas gereja digunakan untuk menekan, memecah, dan membungkam, maka HKBP justru sedang menjauh dari panggilan sucinya.
Peringatan Bagi Kepemimpinan Gereja
Menurut Fredi, gaya kepemimpinan Ephorus Viktor Tinambunan yang keras, reaktif, dan tertutup terhadap kritik telah memicu ketegangan internal di berbagai distrik HKBP.
Banyak pendeta dan pelayan merasa suaranya diabaikan, bahkan dikucilkan hanya karena berbeda pandangan.
“Gereja bukan milik Ephorus, bukan milik kelompok, melainkan milik Kristus. Maka siapa pun yang menjadikan gereja sebagai alat kekuasaan sejatinya sedang mengkhianati panggilan suci,” tegas Fredi.
Ia juga mengingatkan agar jemaat tidak terjebak dalam romantika rohani yang dibungkus kekuasaan, sebab pembungkaman terhadap kritik justru menandai kemunduran spiritual gereja.
Menolak Pembungkaman, Menjaga Akal Sehat Umat
Menutup pernyataannya, Fredi Marbun menegaskan bahwa melawan pembungkaman nalar adalah bentuk tertinggi dari iman dan tanggung jawab moral.
Gereja yang sehat bukanlah gereja yang bebas dari kritik, melainkan yang berani mendengar, memperbaiki diri, dan melayani dengan kasih.
“Kita harus berani menolak pembajakan iman. Gereja tidak boleh menjadi alat kekuasaan siapa pun, termasuk Ephorus. HKBP harus kembali kepada nilai kasih, pelayanan, dan kebebasan berpikir. Hanya dengan itu, gereja akan tetap menjadi cahaya bukan bayang-bayang kekuasaan,”
tutup Fredi Marbun. (Tim)












