wartanusantara.co.id,MEDAN-SUMATERA UTARA– Seratusan perwakilan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) Sumatera Utara berkumpul di BPJS Ketenagakerjaan Medan hari ini untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Membedah Penghapusan Outsourcing dari Sudut Pandang Stakeholder Ketenagakerjaan.” Selasa,27/5/2025.
Diskusi ini menyoroti dampak negatif sistem alih daya terhadap buruh dan urgensi penghapusannya.
FGD yang diselenggarakan oleh panitia yang diketuai Noviandy dari PD FSP FARKES KSPSI SUMUT, dengan Benhidris Nainggolan sebagai sekretaris dan Mariani C Barus (Ketua FSB HUKATAN KSBSI Sumut) sebagai bendahara, diawali dengan sosialisasi program BPJS Ketenagakerjaan oleh Wakil Kepala Wilayah Kepesertaan, Dr. Ir. Sanco Simanullang.
Sorotan dari Berbagai Pihak
Dalam diskusi, Ahmadsyah (Eben), Ketua DPD GSBI Sumut, menegaskan bahwa sistem outsourcing hanya bisa berjalan adil jika penegakan hukum benar-benar diterapkan dan praktik korupsi di kalangan pejabat negara berkurang.
“Ketika kedua problem ini masih eksis dalam hubungan industrial, maka regulasi outsourcing pasti akan menjadi celah bagi kartel outsourcing memanfaatkan kemiskinan para pencari kerja,” ujarnya.
Ramlan Hutabarat, Ketua KORWIL KSBSI Sumut, yang juga menjadi narasumber, membeberkan dampak negatif outsourcing. Ia menyoroti posisi hukum buruh yang lemah karena kewajiban yang timbul dalam hubungan kerja menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. “Upah sangat rendah, hak-hak lain seperti cuti dan BPJS sering terabaikan, dan penyelesaian kasus PHK menjadi semakin pelik,” kata Ramlan.
Ia juga menyoroti dampak sosial berupa ketidakpastian status kerja buruh dan kurangnya rasa kepemilikan di tempat kerja, serta dampak ekonomi di mana buruh tidak menerima hak secara ekonomi seutuhnya. Berdasarkan alasan ini, Ramlan menilai outsourcing harus dihapuskan karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27.
Senada, Ir. Anggiat Pasaribu, Ketua DPD SPN Sumatera Utara, menyoroti problematika implementasi outsourcing. Ia menekankan perlunya penegasan regulasi terhadap perusahaan outsourcing dan tindakan tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan sesuai peraturan.
Sementara itu, Ahmad Happyanus Fau, Ketua Serikat Perjuangan Buruh Merdeka (SPBM), menyuarakan tuntutan perubahan Undang-Undang, pengetatan persyaratan pendirian perusahaan outsourcing, serta pemberdayaan pengawasan yang memadai.
FGD ini dihadiri oleh berbagai unsur, termasuk 68 orang dari SP/SB, 2 orang dari Disnaker, 15 orang dari APINDO, 4 orang dari kepolisian, 2 orang dari BPJS Ketenagakerjaan, 9 narasumber (termasuk perwakilan SP/SB, APINDO, praktisi, akademisi, kepolisian, dan pemerintah), serta 5 orang mahasiswa.
Diskusi ini diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi perumusan kebijakan terkait sistem outsourcing di Indonesia.
Desakan Perubahan Regulasi dan Tantangan di Masa Depan
Para peserta FGD sepakat bahwa sistem outsourcing saat ini, meskipun diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, masih menyisakan banyak celah yang merugikan buruh.
Terutama, pembatasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan yang sempat dihapuskan oleh UU Cipta Kerja, kini menjadi perdebatan kembali.
Pandangan dari APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang diwakili oleh Susanto Haryono, SH, Pengurus DPN APINDO pusat, turut menjadi narasumber. Meskipun tidak dirinci dalam rilis, umumnya APINDO cenderung memandang outsourcing sebagai alat untuk efisiensi operasional dan fleksibilitas pasar kerja, yang memungkinkan perusahaan beradaptasi dengan fluktuasi permintaan dan mengurangi biaya overhead.
Namun, perwakilan SP/SB menekankan bahwa efisiensi ini seringkali datang dengan mengorbankan hak-hak dasar dan kesejahteraan buruh.
Gindo Nadapdap, SH, MH, seorang praktisi hukum, dan akademisi Dr. Agusmidah, SH, MHum serta Drs. Coki Ahmad Syahwier, MP, memberikan perspektif hukum dan akademis mengenai kompleksitas outsourcing. Mereka kemungkinan membahas aspek legalitas, kontrak kerja, hingga implikasi sosial-ekonomi jangka panjang dari sistem ini.
Dari unsur kepolisian, IPTU Francis Saragi, SH, MH, memberikan pandangan terkait penegakan hukum dan potensi konflik yang timbul dari perselisihan hubungan kerja outsourcing.
Sementara itu, Ririn Bidasari, SH, MH, selaku Kabid HI (Hubungan Industrial) dari unsur pemerintah, menjelaskan upaya-upaya pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja, serta tantangan dalam pengawasan implementasi regulasi outsourcing.
Moderator FGD, Suhib Nurido, berhasil mengarahkan diskusi yang melibatkan berbagai pihak ini untuk menghasilkan poin-poin krusial terkait masa depan outsourcing di Indonesia.
Meskipun terdapat upaya pemerintah untuk meregulasi outsourcing melalui PP 35/2021, seperti jaminan hak pekerja jika terjadi pergantian perusahaan alih daya dan durasi maksimal perjanjian kerja dua tahun dengan kemungkinan perpanjangan satu tahun, serikat pekerja dan buruh tetap menyuarakan penghapusan total atau revisi fundamental.
Mereka berpendapat bahwa selama celah hukum dan praktik korup masih ada, buruh akan terus menjadi korban.
FGD ini menegaskan bahwa permasalahan outsourcing bukan hanya sekadar isu ketenagakerjaan semata, melainkan juga melibatkan aspek keadilan sosial dan penegakan hukum yang mendalam.
Rekomendasi dari diskusi ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan serius bagi pembuat kebijakan untuk menciptakan iklim kerja yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh pekerja di Sumatera Utara, dan Indonesia secara keseluruhan. (Zsrg)