Dampak Ekonomi Digital terhadap Pola Konsumsi Masyarakat Modern
PENULIS: KRESNA RISQI RAMADHAN STMIK TAZKIA BOGOR
Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam struktur ekonomi global. Dalam satu dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran besar-besaran dari sistem ekonomi konvensional menuju ekonomi digital sebuah ekosistem yang terhubung oleh internet, data, dan algoritma. Transaksi ekonomi kini tidak lagi bergantung pada uang tunai atau tatap muka langsung. Belanja, transportasi, pembayaran, bahkan pekerjaan, semuanya dapat dilakukan secara online. Di Indonesia, perubahan ini terasa sangat cepat. Menurut data Bank Indonesia tahun 2024, nilai transaksi e-commerce mencapai lebih dari 600 triliun rupiah per tahun, dengan pengguna aktif dompet digital meningkat hingga 90 juta orang.
Angka ini menunjukkan bahwa ekonomi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern dari pelajar, pekerja, hingga ibu rumah tangga.
- Transformasi Perilaku Konsumen di Era Digital
Sebelum era digital, keputusan konsumsi biasanya melalui proses pertimbangan yang panjang membandingkan harga, kualitas, dan kebutuhan. Kini, proses itu berlangsung dalam hitungan detik. Aplikasi belanja seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada memudahkan pengguna untuk membeli barang dengan sekali klik. Belanja tidak lagi menjadi kegiatan yang membutuhkan waktu dan tenaga, melainkan menjadi bagian dari aktivitas rutin bahkan hiburan bagi masing masing orang. Perubahan ini menghasilkan fenomena yang disebut “instant gratification” kepuasan instan yang didorong oleh kemudahan teknologi. Konsumen tidak lagi menunda pembelian, karena sistem pembayaran digital dan promo kilat membuat keputusan belanja terasa ringan. Kita membeli bukan karena butuh, tapi karena bisa. Di sinilah ekonomi digital menciptakan perilaku konsumsi yang masif dan sulit dikendalikan.
- Strategi Ekonomi Digital Yang Mengubah Keinginan Menjadi Kebutuhan
Di balik layar smartphone, ada algoritma yang terus bekerja. Setiap kali seseorang mencari barang di internet, sistem akan mencatat data itu dan menyesuaikan iklan yang muncul di media sosialnya. Hal ini disebut personalized advertising, yaitu bentuk pemasaran yang sangat efektif karena menargetkan kebutuhan (atau keinginan) individu secara spesifik.
Sebagai contoh, seseorang yang baru saja mencari “sepatu olahraga” akan melihat berbagai iklan sepatu di Instagram, TikTok, dan YouTube selama beberapa hari ke depan. Akibatnya, keinginan yang semula kecil berubah menjadi dorongan kuat untuk membeli.
Dalam konteks ini, ekonomi digital tidak hanya memfasilitasi transaksi, tetapi juga membentuk cara berpikir konsumen. Kebutuhan menjadi kabur keinginan dikemas seolah-olah kebutuhan yang mendesak. Inilah bentuk baru dari” (attention economy)”, di mana waktu dan fokus manusia menjadi komoditas yang diperebutkan oleh perusahaan digital. Semakin lama seseorang berada di aplikasi, semakin besar peluang ia mengeluarkan uang.
- Budaya Konsumtif dan Identitas Sosial Baru
Kehidupan masyarakat modern kini tidak lepas dari simbol-simbol konsumsi. Barang dan jasa yang dibeli bukan lagi sekadar alat pemenuhan kebutuhan, tetapi juga penanda status sosial.
Orang membeli produk bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena ingin terlihat up to date atau kekinian. Platform digital seperti TikTok Shop, Instagram, dan YouTube menjadi ruang di mana konsumsi menjadi tontonan sekaligus tekanan sosial. Akibatnya, muncul fenomena FOMO ketakutan tertinggal dari tren yang sedang viral. FOMO inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berbelanja agar tetap merasa relevan. Secara psikologis, hal ini membentuk siklus konsumsi tanpa henti yang sulit diputuskan.
- Dampak pada Keuangan Pribadi dan Kestabilan Rumah Tangga
Salah satu dampak paling nyata dari ekonomi digital adalah melemahnya kontrol terhadap keuangan pribadi. Pembayaran nontunai memang praktis, tetapi juga menimbulkan efek psikologis uang terasa tidak nyata. Seseorang lebih mudah menghabiskan uang karena tidak melihat fisik uang berpindah tangan. Penelitian dari lembaga keuangan global menunjukkan bahwa pengguna e-wallet cenderung membelanjakan 15–20% lebih banyak dibanding pengguna uang tunai.
Fenomena ini banyak terjadi pada generasi muda yang aktif menggunakan layanan digital seperti Gopay, OVO, Dana, dan LinkAja. Bagi sebagian orang, transaksi digital yang cepat dan mudah justru menciptakan ketergantungan seolah setiap aktivitas harus dikaitkan dengan pengeluaran uang. Di tingkat rumah tangga, hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam mengatur anggaran, meningkatnya utang konsumtif, dan rendahnya kesadaran menabung.
Ekonomi digital memberi kenyamanan, tapi juga menyimpan jebakan gaya hidup boros.
- Sisi Positif Inklusi Keuangan dan Peluang Ekonomi Baru
Tentu tidak semua dampak ekonomi digital bersifat negatif. Bagi pelaku usaha, digitalisasi membuka peluang luar biasa. UMKM kini bisa menjual produk ke seluruh Indonesia tanpa perlu membuka toko fisik. Marketplace menjadi jembatan antara produsen kecil dan konsumen luas, sementara media sosial berperan sebagai alat promosi murah dan efektif.
Selain itu, sistem keuangan digital seperti fintech dan e-wallet memperluas inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses ke bank. Kini, siapa pun dapat menyimpan uang, melakukan transfer, dan bertransaksi tanpa rekening bank. Fenomena ini membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal.
Namun, perlu diingat bahwa manfaat ekonomi digital hanya bisa dirasakan maksimal jika masyarakat memiliki literasi digital dan finansial yang baik. Tanpa itu, teknologi hanya akan menguntungkan sebagian kecil kelompok yang sudah siap sementara yang lain tertinggal.
- Menuju Kesadaran Konsumsi yang Lebih Kritis
Masyarakat perlu membangun kesadaran baru dalam menghadapi arus digitalisasi ini. Menjadi konsumen cerdas bukan berarti menolak teknologi, tetapi memahami mekanisme di baliknya. Selain itu, penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memperkuat literasi ekonomi digital. Generasi muda harus diajarkan tentang pengelolaan keuangan, etika konsumsi, serta risiko dari ketergantungan digital. Ekonomi digital yang sehat bukan hanya soal kemajuan teknologi, tetapi juga kesadaran manusia dalam mengendalikannya.
Kesimpulan
Ekonomi digital adalah pedang bermata dua. Ia memberi efisiensi, peluang usaha, dan kemudahan luar biasa dalam hidup sehari-hari. Namun, ia juga membawa tantangan budaya konsumtif, ketimpangan baru, dan hilangnya kesadaran terhadap nilai uang. Pola konsumsi masyarakat modern kini dibentuk oleh algoritma dan tren, bukan lagi kebutuhan nyata. Karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya menjadi pengguna, tetapi pengendali dari teknologi itu sendiri.